Minggu, 05 Desember 2010

Kesehatan menurut pandangan Islam

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Maa’idah, 5: 3).
Islam memiliki perbedaan yang nyata dengan agama-agama lain di muka bumi ini. Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Sang Khalik-nya dan alam syurga, namun Islam memiliki aturan dan tuntunan yang bersifat komprehensif1, harmonis, jelas dan logis. Salah satu kelebihan Islam yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah perihal perspektif Islam dalam mengajarkan kesehatan bagi individu maupun masyarakat.

“Kesehatan merupakan salah satu hak bagi tubuh manusia” demikian sabda Nabi Muhammad SAW. Karena kesehatan merupakan hak asasi manusia, sesuatu yang sesuai dengan fitrah manusia, maka Islam menegaskan perlunya istiqomah memantapkan dirinya dengan menegakkan agama Islam. Satu-satunya jalan dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Allah berfirman:
”Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh-penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk dan rahmat bagi orang-orangnya yang beriman” (QS:Yunus 57).
Sehat menurut batasan World Health Organization adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Tujuan Islam mengajarkan hidup yang bersih dan sehat adalah menciptakan individu dan masyarakat yang sehat jasmani, rokhani, dan sosial sehingga umat manusia mampu menjadi umat yang pilihan.
A.Kebersihan, membersihkan dan menyucikan diri
1.    Tubuh: Islam memerintahkan mandi bagi umatnya karena 23 alasan dimana 7 alasan merupakan mandi wajib dan 16 alasan lainnya bersifat sunah.
2.    Tangan: Nabi Muhammad SAW bersabda: “Cucilah kedua tanganmu sebelum dan sesudah makan “, dan ” Cucilah kedua tanganmu setelah bangun tidur. Tidak seorang pun tahu dimana tangannya berada di saat tidur.”
3.    Islam memerintahkan kita untuk mengenakan pakaian yang bersih dan rapi.
4.    Makanan dan minuman: Lindungilah makanan dari debu dan serangga, Rasulullah SAW sersabda: “Tutuplah bejana air dan tempat minummu ”
5.    Rumah: “Bersihkanlah rumah dan halaman rumahmu” sebagaimana dianjurkan untuk menjaga kebersihan dan keamanan jalan: “Menyingkirkan duri dari jalan adalah ibadah.”
6.    Perlindungan sumber air, misalnya sumur, sungai dan pantai. Rasulullah melarang umatnya buang kotoran di tempat-tempat sembarangan.
Perintah-perintah Rasulullah SAW tersebut di atas memiliki makna bahwa kita harus menjaga kebersihan dan kesehatan agar terhindar dari berbagai infeksi saluran pencernaan.
B.Penanggulangan dan penanganan epidemi penyakit
1.    Karantina penyakit: Nabi Muhammad SAW bersabda: “Jauhkanlah dirimu sejauh satu atau dua tombak dari orang yang berpenyakit lepra ”
2.    Islam juga mengajarkan prinsip-prinsip dasar penanganan dan penanggulangan berbagai penyakit infeksi yang membahayakan masyarakat (misalnya wabah kolera dan cacar), “Janganlah engkau masuk ke dalam suatu daerah yang sedang terjangkit wabah, dan bila dirimu berada di dalamnya janganlah pergi meninggalkannya.”
3.    Islam menganjurkan umatnya melakukan upaya proteksi diri (ikhtiar) dari berbagai penyakit infeksi, misalnya dengan imunisasi.
C. Makanan
1.    Makanan yang diharamkan.
Firman Allah SWT :
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. 2. Al Baqarah, 2:173 )
Setiap makanan yang dilarang di dalam Al Quran ternyata saat ini memiliki argumentasi ilmiah yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan. Makanan yang diharamkan dapat mengganggu kesehatan manusia, baik pengaruh buruk bagi kesehatan (kolesterol, racun) maupun mengandung berbagai penyakit yang membahayakan tubuh (Trichina, Salmonella, cacing pita, dll.).
2.    Makanan sehat dan halal:
Islam memerintahkan umatnya untuk makan makanan yang baik dan halal, misalnya daging, ikan, madu dan susu. Makanan-makanan yang baik dan halal bermanfaat bagi tubuh. Islam menolak paham vegetarian. Pola konsumsi yang hanya tergantung pada jenis sayuran belaka tidak sehat bagi tubuh karena kebutuhan protein tidak dapat tercukupi hanya dari konsumsi sayuran saja.
3.    Menjaga perilaku muslim ketika makan:
Islam menegaskan kepada orang muslim untuk menjaga etika ketika makan. Allah memerintahkan kita untuk makan tidak berlebih-lebihan sedangkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa “perut adalah seburuk-buruk tempat untuk diisi”. Sebagian besar penyakit bersumber dari perut. Oleh karenanya Maha Benar Allah SWT dalam Firman-Nya :
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi”. (QS 4. An Nisaa’ : 79)
D. Olahraga
Islam menegaskan pentingnya olahraga untuk menciptakan generasi Rabbani yang kuat dan sehat. Oleh karenanya, Islam mengajarkan setiap muslim untuk mengajarkan anak-anaknya bagaimana cara memanah, berenang, dan berkuda.
E. Kesehatan seksual
Kehidupan seksual merupakan pokok bahasan yang sangat penting bagi orang muslim, karena sangat berpengaruh bagi kesehatan dan perilaku manusia, namun Islam menolak pendapat ilmuwan yang menekankan perilaku seksual sebagai motif utama seseorang untuk bertindak.
1.    Pendidikan seksual
2.    Islam mengajarkan kepada umat Islam, untuk memilih calon pasangan hidup yang baik dan berakhlaq mulia.
3.    Islam mengajarkan tata krama (adab) menggauli pasangannya agar mencapai kebahagiaan dalam membina keluarga yang sakinah dan rahmah.
4.    Islam sangat melarang perilaku berhubungan seks dengan sesama jenis dan binatang.
5.    Disunahkan untuk sirkumsisi (sunat) bagi laki-laki
6.    Islam membolehkan kaum pria untuk berpoligami untuk menghindari perzinahan, namun dengan syarat-syarat tertentu .
7.    Menjaga kebersihan dan kesucian organ-organ seksualitas, misalnya bersuci setelah buang air besar dan buang air kecil, larangan berhubungan seksual ketika istri sedang haid, berhubungan badan melalui dubur dan membersihkan alat kelamin setelah berhubungan badan dan setelah selesai datang bulan.
F. Kesehatan jiwa
Islam memberikan jawaban bagi kehausan jiwa manusia terhadap ketenangan batin. Kesehatan jiwa mempengaruhi kesehatan badan.
G. Puasa
Puasa, bagian dari ibadah yang harus dilaksanakan oleh umat Islam dalam menegakkan agama, sesudah pernyataan imannya. Konsekuensi beriman antara lain melaksanakan perintah puasa. Betapa pentingnya berpuasa sehingga Allah menempatkan posisi hamba-Nya yang berpuasa dengan posisi yang istimewa. ”Puasa itu untuk-Ku. Tidak ada yang tahu. Dan Aku akan memberi pahala semau-Ku.”
Keistimewaan itu sudah barang tentu ada tujuan Allah agar mendapatkan hikmah pada dirinya, yaitu kesehatan dan sekaligus kebahagiaan. Janji Allah diberikan kepada orang yang berpuasa ditegaskan dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Suny dan Abu Nu’aim: ”Berpuasalah maka anda akan sehat.” Dengan berpuasa akan sehat jasmani, rohani dan hubungan sosial.
1. Manfaat bagi Kesehatan Badan (jasmani).
Tidak seorang pun ahli medis baik muslim maupun non muslim yang meragukan manfaat puasa bagi kesehatan manusia. Dalam buku yang berjudul ”Pemeliharaan Kesehatan dalam Islam” oleh Dr Mahmud Ahmad Najib (Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Ain-Syams Mesir), ditegaskan puasa sangat berguna bagi kesehatan. Antara lain:
·    Puasa memperkecil sirkulasi darah sebagai perimbangan untuk mencegah keluarnya keringat dan uap melalui pori-pori kulit serta saluran kencing tanpa perlu menggantinya. Menurutnya curah jantung dalam mendistribusikan darah keseluruh pembuluh darah akan membuat sirkulasi darah menurun. Dan ini memberi kesempatan otot jantung untuk beristirahat, setelah bekerja keras satu tahun lamanya. Puasa akan memberi kesempatan pada jantung untuk memperbaiki vitalitas dan kekuatan sel-selnya.
·    Puasa memberi kesempatan kepada alat-alat pencernaan untuk beristirahat setelah bekerja keras sepanjang tahun. Lambung dan usus beristirahat selama beberapa jam dari kegiatannya, sekaligus memberi kesempatan untuk menyembuhkan infeksi dan luka yang ada sehingga dapat menutup rapat. Proses penyerapan makanan juga berhenti sehingga asam amoniak, glukosa dan garam tidak masuk ke usus. Dengan demikian sel-sel usus tidak mampu lagi membuat komposisi glikogen, protein dan kolesterol. Disamping dari segi makanan, dari segi gerak (olah raga), dalam bulan puasa banyak sekali gerakan yang dilakukan terutama lewat pergi ibadah.
2. Manfaat bagi Kesehatan Rohani (Mental).
Perasaan (mental) memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Mendapat rasa senang, gembira, rasa puas serta bahagia, merupakan tujuan bermacam-macam ikhtiar manusia sehari-hari. Bila seseorang menangani gangguan kesehatan, tidak boleh hanya memperhatikan gangguan badaniah saja, tetapi sekaligus segi kejiwaan dan sosial budayanya. Rohani datang dari Allah, maka kebahagiaan hanya akan didapat apabila makin dekat kepada pencipta-Nya.
Di dalam bulan puasa disunahkan untuk makin berdekat diri dengan Allah SWT baik lewat shalat, membaca Alquran, zikir, berdoa, istighfar, dan qiyamul lail. Selama sebulan secara terus-menerus akan membuat rohani makin sehat, jiwa makin tenang. Dengan memperbanyak ingat kepada Allah, makin yakin bahwa semua yang ada datang dari Allah dan akan kembali kepada-Nya jua. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah antara lain:
”Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS:Al Baqarah 45).
”Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim kecuali merugi.” (QS:Al-Isra’ 82)
”Orang-orang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS:Ar-Ra’d 28).
”Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.”(QS:Al Fajr 27-30).

“KEBERSIHAN SEBAGIAN DARI IMAN” BUKAN HADITS NABI SAW
Ditulis oleh Farid Ma'ruf di/pada 27 November 2007
Tanya :
Apakah benar istilah ”Kebersihan Sebagian Dari Iman” merupakan hadits atau hanya semboyan saja ? Mohon penjelasan penjelasan bapak. (Hamba Allah, Jakarta)
Jawab :
Ungkapan ”Kebersihan Sebagian Dari Iman” (Arab : an-nazhaafatu minal iimaan) sebenarnya bukanlah hadits Nabi SAW, namun hanya sekedar peribahasa atau kata mutiara yang baik atau Islami.
Ringkasnya, jika ditinjau apakah ungkapan itu hadits Nabi SAW atau bukan, jawabnya bukan hadits Nabi SAW. Sebab tidak terdapat hadits berbunyi demikian dalam berbagai kitab hadits yang ada, sejauh pengetahuan kami. Namun kalau ditinjau apakah ungkapan itu Islami atau tidak, jawabnya Islami. Sebab ungkapan itu didukung oleh sebuah hadits hasan seperti yang akan kami sebutkan.
Memang, ada hadits sahih dari Nabi SAW yang mirip dengan kalimat ”Kebersihan Sebagian Dari Iman”. Hadits itu adalah sabda Nabi SAW yang berbunyi,”Ath-thahuuru syatrul iimaan…” (HR. Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi) (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, II/57; Imam Al-Qazwini, Bingkisan Seberkas 77 Cabang Iman (Terj. Mukhtashar Syu’abul Iman Li Al-Imam Baihaqi), hal. 66-67).
Namun arti hadits Nabi tersebut adalah,”Bersuci [thaharah] itu setengah daripada iman….” Kata ath-thahuuru dalam hadits itu artinya tiada lain adalah bersuci (ath-thaharah), bukan kebersihan (an-nazhafah), meskipun patut diketahui ath-thaharah secara makna bahasa artinya memang kebersihan [an-nazhaafah] (Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/6). Tetapi dalam ushul fiqih terdapat kaidah bahwa arti asal suatu kata dalam al-Qur`an dan Al-Hadits adalah arti terminologis (makna syar’i), bukan arti etimologis (makna bahasa). Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah Juz III hal. 174 menyebutkan kaidah ushul fiqih yang berbunyi :
Al-Ashlu fi dalalah an-nushush asy-syar’iyah huwa al-ma’na asy-syar’iy
“Arti asal nash-nash syariah [Al-Qur`an dan As-Sunnah] adalah makna syar’i.”
Karenanya hadis Nabi SAW di atas hendaknya diartikan “Bersuci itu setengah daripada iman”, dan bukannya ”Kebersihan itu sebagian daripada iman.”
Suci dan bersih itu berbeda. Suci (thahir) adalah keadaan tanpa najis dan hadas, baik hadas besar maupun hadas kecil, pada badan, pakaian, tempat, air, dan sebagainya. Bersuci (thaharah) adalah aktivitas seseorang untuk mencapai kondisi suci itu, misalnya berwudhu, tayammum, atau mandi junub. (Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/6). Sedang bersih (nazhif) adalah lawan dari kotor yaitu keadaan sesuatu tanpa kotoran. Sesuatu yang kotor bisa saja suci, meski ini tentu kurang afdhol. Sajadah yang lama tidak dicuci adalah kotor. Tapi tetap disebut suci selama kotoran yang menempel hanya sekedar debu atau daki, bukan najis seperti kotoran binatang.
Demikian pula sesuatu yang bersih juga tidak otomatis suci. Seorang muslim yang berhadats besar (misal karena haid atau berhubungan seksual) bisa saja tubuhnya bersih sekali karena mandi dengan sabun anti kuman atau desinfektan. Tapi selama dia tidak meniatkan mandi junub, dia tetaplah tidak suci alias masih berhadas besar.
Walhasil, suci atau bersuci berkaitan dengan keyakinan seorang muslim, yang sifatnya tidak universal. Maksudnya hanya menjadi pandangan khas di kalangan umat Islam. Sedang bersih atau kebersihan berkaitan dengan fakta empiris yang universal, yaitu diakui baik oleh umat Islam maupun umat non Islam.
Kembali ke masalah hadits di atas. Kesimpulannya, yang ada adalah hadits Nabi SAW yang berarti ”Bersuci Adalah Sebagian Dari Iman”, dan bukan ” Kebersihan Sebagian Dari Iman.”
Namun demikian, kalimat ” Kebersihan Sebagian Dari Iman” merupakan ungkapan yang baik (Islami), karena didukung sebuah hadits yang menurut Imam Suyuthi berstatus hasan, yakni sabda Nabi SAW :
”Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah baik dan mencintai kebaikan, bersih dan mencintai kebersihan, mulia dan mencintai kemuliaan, dermawan dan mencintai kedermawanan. Maka bersihkanlah halaman rumahmu dan janganlah kamu menyerupai orang Yahudi.” (HR. Tirmidzi) (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, I/70; Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadits Terpilih, [Jakarta : GIP], cetakan keenam, 1993, hal. 311).
Hadits di atas menunjukkan bahwa kebersihan (an-nazhafah) merupakan sesuatu yang dicintai Allah SWT. Maka dari itu ungkapan ” Kebersihan Sebagian Dari Iman” kami katakan sebagai ungkapan yang baik atau Islami karena ada dasarnya dalam Islam yaitu hadits riwayat Tirmidzi di atas. Ungkapan itu dapat diberi arti, bahwa menjaga kebersihan segala sesuatu merupakan bukti atau buah keimanan seorang muslim, karena dia telah beriman bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Mahabersih (nazhiif). Wallahu a’lam. (www.konsultasi.wordpress.com)
Yogyakarta, 26 Nopember 2007


Friday, 13 July 2007 03:35   




      
Wawasan Al-Quran Tentang Kebersihan    
 
Mimbar Jumat       
Perintah Al-Quran untuk melakukan ibadah yang kemudian dikaitkan dengan kebersihan, menunjukkan bahwa keduanya tak dapat dipisahkan karena saling melengkapi. Oleh karena itu, antara ibadah dengan kebersihan terhadap hubungan timbal balik di mana kebersihan dinilai sebagai ibadah, dan ibadah itu sendiri dianggap tidak sah atau sempurna tanpa melalui kebersihan.
 *(Kajian Tentang Kaitan Kebersihan dengan Ibadah)
 WASPADA Online.
Oleh Drs. Achyar Zein & M. Amin Daulay
Perintah Al-Quran untuk melakukan ibadah yang kemudian dikaitkan dengan kebersihan, menunjukkan bahwa keduanya tak dapat dipisahkan karena saling melengkapi. Oleh karena itu, antara ibadah dengan kebersihan terhadap hubungan timbal balik di mana kebersihan dinilai sebagai ibadah, dan ibadah itu sendiri dianggap tidak sah atau sempurna tanpa melalui kebersihan.
Kuat dugaan bahwa penggandengan ini memiliki makna tersendiri karena kebersihan dan ibadah merupakan kebutuhan manusia yang sangat asasi sehingga Al-Quran menjadikan keduanya memiliki hubungan timbal balik. Sebagai pelengkap atau bahkan penentu kesempurnaan ibadah, maka kebersihan selalu dijadikan sebagai syarat dari suatu ibadah baik kebersihan lahiriyah maupun batiniyah. Kebersihan lahiriyah berorientasi kepada sah dan tidak sahnya suatu ibadah, sedangkan kebersihan bathiniyah lebih terfokus kepada kesempurnaan suatu ibadah yaitu diterima atau tidak diterima. Kaitan yang erat ini seharusnya dapat dijadikan budaya dalam kehidupan karena pelaksanaan ibadah rutin dilaksanakan setiap hari.
Al-Quran memberikan pandangan tersendiri bahwa keduanya sama-sama penting dan dipandang sebagai mitra sejajar. Oleh karena itu, pentingnya kebersihan dalam wawasan Al-Quran pada prinsipnya tidak berbeda dengan wawasan Al-Quran tentang ibadah, yang kedua-duanya dilakukan adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri. Hubungan Kebersihan dengan Ibadah. Al-Qur’an adalah kitab suci yang memuat seperangkat peraturan-peraturan khususnya tentang ibadah. Peraturan-peraturan ini menyangkut tentang cara, syarat dan mekanisme agar ibadah yang dilakukan dapat memberikan kontribusi yang positif bagi kehidupan pelakunya. Kontribusi dimaksud tidak hanya diharapkan pada saat berlangsungnya ibadah, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah di luar ibadah. Ibadah-ibadah yang diatur dalam Al-Quran khusus yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah di antaranya adalah shalat, puasa, haji dan lain-lain. Hal yang paling menarik dari ibadah-ibadah ini ialah adanya penentuan syarat-syarat sebelum pelaksanaan ibadah. Syarat-syarat ini pada umumnya mengarah kepada sifat bersih baik lahir maupun batin.
Sederetan ibadah yang telah disebutkan oleh Al-Quran di atas, maka ibadah shalat paling menarik untuk dikemukakan dalam tulisan ini karena rutin dilakukan setiap hari. Di samping rutinitasnya, maka perintah untuk bersuci sebelum melakukan shalat disebutkan juga secara jelas dalam Al-Quran. Para ulama memberikan rincian tentang bersih ini mulai dari bersih diri, pakaian dan tempat pelaksanaan shalat. Perintah agar bersih sebelum melakukan sholat terdapat dalam Q.S. Al-Maidah ayat 6 yang populer disebut dengan wudhu’. Adapun anggota-anggota tubuh yang wajib untuk dibersihkan ialah membasuh muka, membasuh kedua tangan hingga siku, menyapu kepala dan menyapu kedua kaki hingga mata kaki. Membersihkan anggota-anggota tubuh yang telah disebutkan pada prinsipnya hampir sama dengan mandi atau paling tidak mirip-mirip dengan mandi.
Bila dilihat dengan kewajiban melaksanakan shalat yang lima kali sehari semalam, maka rentang-rentang waktu ini menunjukkan bahwa kebersihan adalah sesuatu yang harus abadi di dalam kehidupan seorang Muslim. Sebagai orang yang cerdas, tentu saja perintah kebersihan ini tidak hanya disahuti ketika hendak melakukan shalat saja, akan tetapi perbuatan-perbuatan yang di luar shalatpun harus juga dilakukan dengan membawa atribut kebersihan. Perintah untuk melakukan wudhu’ sebelum mengerjakan shalat dengan membasuh anggota-anggota tubuh yang sudah ditentukan, maka dapat dipahami bahwa Al-Quran adalah kitab suci yang sangat peduli dengan kebersihan. Berdasarkan hal ini maka dapat diungkap bahwa kebersihan memiliki kaitan yang erat dengan ibadah. Dan bahkan status hukum dari suatu ibadah (sah dan tidak sah) sangat ditentukan oleh faktor-faktor kebersihan. Bersih adalah salah satu ajaran Islam yang paling asasi sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits buniya al-din ‘ala al-nazhafah yang artinya ‘agama dibangun di atas landasan kebersihan’. Dan karenanya fiqh al-Islam memasukkannya menjadi syarat sah suatu ibadah, sehingga kitab-kitab fiqh -pada umumnya- selalu mengawali pembahasannya dari bab al-thaharah (bab bersuci). Penempatan bab ini di awal kajian kitab fiqh menunjukkan betapa pentingnya kebersihan dalam pandangan Islam.
Kuat dugaan bahwa penempatan bab ini di awal kajian fiqh juga karena dilandasi firman Allah “Tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu”. Kedudukan fiqh dalam tataran ini adalah mengatur tata cara pengabdian manusia kepada Allah sebagai Zat Yang Maha Suci dan Maha Bersih, dan karenanya pengabdian ini tidak akan membuahkan hasil yang baik jika manusia tidak mensucikan dan membersihkan dirinya terlebih dahulu. Artinya, sifat-sifat Allah yang bersih dan suci hanya dapat diinternalisasi oleh orang-orang yang bersih dan suci. Bila kebersihan dikaitkan dengan ibadah sebagaimana disebutkan Al-Quran dalam kasus ibadah shalat, berarti menjaga kebersihan termasuk sesuatu yang diwajibkan, sama halnya dengan kewajiban shalat itu sendiri. Ini juga termasuk salah satu alasan para ulama ketika mengeluarkan kaidah fiqh mala yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib yang artinya ‘apabila suatu kewajiban tidak sempurna tanpa melibatkan sarana yang lain, maka sarana yang lain itu juga hukumnya adalah wajib’. Kebersihan dengan ibadah maka otomatis kebersihan itu sendiri adalah termasuk bagian dari ibadah, apalagi kebersihan dijadikan sebagai salah satu syarat sah. Konsekuensi dari hubungan ini adalah pahala dan dosa. Dengan kata lain, apabila kebersihan dijaga dengan baik dan benar maka imbalan pahala akan didapat dan sebaliknya bila kebersihan ini diabaikan maka yang bersangkutan akan mendapatkan dosa.
Penutup
Melalui hubungan ini dapat dipahami bahwa upaya yang paling efektif untuk membudayakan sifat bersih adalah melalui ibadah. Pada tataran idealnya, orang-orang yang sudah menjaga ibadahnya dengan baik, seharusnya mampu pula menjaga nilai-nilai kebersihan diri dan lingkungannya dengan baik. Kilas baliknya, bila cita-cita ideal ini belum terwujud, berarti ada hal-hal yang belum tertangkap dari pelaksanaan ibadah, karena keberhasilan suatu ibadah bukan hanya dilihat sewaktu pelaksanaan ibadah berlangsung, akan tetapi yang lebih penting lagi nilai-nilai dimaksud dapat diterapkan di luar waktu ibadah.
(wns)     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar